Beranda | Artikel
Implikasi Buruk Usaha Haram dan Beraktifitas pada Harta Haram
Senin, 1 Agustus 2022

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.

Di masa sekarang ini kaum muslimin banyak yang meremehkan dan tidak memperhatikan lagi masalah halal dan haram dalam usaha mereka. Bahkan sebagian mereka sudah tidak peduli lagi dengan masalah ini. Sungguh benar berita yang disampaikan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau:

يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ؛ أَمِنَ الحَلاَلِ أَمْ مِنَ الحَرَامِ؟!

Akan datang kepada manusia suatu zaman (ketika itu) seorang tidak lagi peduli dengan apa yang dia dapatkan, apakah dari yang halal atau haram?! (HR. al-Bukhâri 2059)  

Kemungkinan fenomena ini muncul karena kaum muslimin tidak sabar dan teguh menghadapi fitnah harta yang pernah dijelaskan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam salah satu haditsnya,

إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ 

Sesungguhnya setiap umat mendapatkan fitnah dan fitnah umat ini adalah harta. (HR at-Timidzi dalam sunannya kitab Az-Zuhd)

Tidak dipungkiri lagi bahwa ujian harta merupakan perkara yang sulit dan menghanyutkan banyak kaum muslimin, apalagi ketika mereka jauh dari tuntunan syari’at. Padahal ketamakan terhadap harta merupakah salah satu tabiat manusia, seperti dijelaskan dalam sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

لَوْ كَانَ لاِبْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ ؛ لاَبْتَغَى ثَالِثاً , وَلاَ يَمَلأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ , وَيَتُوْبُ الله ُعَلَى مَنْ تَابَ 

Seandainya anak Adam memiliki dua lembah harta; pasti ia menginginkan yang ketiga, sedangkan perut anak Adam tidaklah dipenuhi kecuali dengan tanah, dan Allah memberi taubat-Nya kepada yang bertaubat. (HR al-Bukhâri no.6436, Muslim no.1049)

Semua ini menghancurkan keimanan kaum muslimin. Pergeseran cinta dunia dan takut mati telah menguasai atau dominan di hati mereka. Akhirnya, mereka menyatakan dengan tanpa ekspresi sebuah ungkapan: “Yang haram aja susah apalagi yang halal”. Mereka pun terjerumus dalam praktik usaha haram yang beraneka ragam.

Fenomena seperti ini banyak muncul di kalangan kaum muslimin, disebabkan karena rendahnya kadar rasa takut dan malu kepada Allah akibat rendahnya kualitas iman. Di samping ambisi mendapatkan hasil yang cepat dan sifat tamak dan rakus serta tidak menerima yang ada pada diri manusia. Ditambah lagi dengan ketidaktahuan mereka tentang bahaya usaha yang haram dan hukum usaha yang dilakukannya.

Semua ini membuat mereka meremehkan dan kurang memperhatikan tatanan dan tuntunan syari’at terhadap usahanya. Mungkin karena tidak adanya narasumber dan pembimbing, dan mungkin juga karena keteledoran dan kelalaian mereka.

Padahal Allah mengharamkan sesuatu yang berbahaya bagi makhluk-Nya. Demikian juga Allah mengharamkan usaha dan harta haram karena memiliki implikasi buruk dan bahaya terhadap pelakunya. Di antaranya adalah:

  1. Usaha yang haram mengotori hati dan membuat malas anggota tubuh dalam berbuat ketaatan serta hilangnya barakah rezeki dan umur. Usaha yang haram adalah kemaksiatan dan perbuatan dosa yang memiliki implikasi buruk sangat banyak sekali, di antaranya membuat hati kotor dan gelap.

    Ibnul-Qayyim menegaskan: “Di antara implikasi buruk kemaksiatan adalah kegelapan yang didapatkan di hatinya, yang dapat ia rasakan sebagaimana merasakan kegelapan malam yang gelap gulita, sehingga gelapnya kemaksiatan di kalbu seperti kegelapan di matanya.

    Sebab, ketaatan adalah cahaya dan kemaksiatan adalah kegelapan. Semakin tebal kegelapan, maka keguncangannya pun akan semakin bertambah hingga terjerumus dalam kebid`ahan dan kesesatan serta perkara yang membinasakan tanpa ia sadari, seperti orang buta keluar di kegelapan malam berjalan sendiri.

    Kegelapan ini semakin kuat hingga nampak di mata kemudian menguat hingga nampak terlihat di wajah dan menjadikan warna hitam di wajah hingga semua orang dapat melihatnya”. (Al-Jawâbul-Kâfi, ibnu al-Qayyim,  hlm 98-99)

Ibnu Abbâs menyatakan: “Sesungguhnya kebaikan memberikan cahaya di kalbu dan sinar di wajah, kekuatan di badan, tambahan dalam rezeki serta kecintaan di hati para makhluk. Kejelekan (dosa) memberikan warna hitam di wajah, kegelapan di hati, kelemahan di badan, kekurangan dalam rezeki dan kebencian di hati para makhluk”. (Al-Jawâbul-Kâfi, ibnu al-Qayyim,  hlm 99)


Demikian juga usaha yang haram ini menghilangkan barakah rezeki dan umur pelakunya.

  1. Usaha yang haram tentunya akan menghasilkan harta dan makanan yang haram juga, sehingga pelakunya akan tumbuh dari makanan yang haram. Bila demikian, maka neraka lebih pantas baginya, sebagaimana dijelaskan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau:

إِنَّهُ لاَ يَرْبُوْ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتْ النَّارُ أَوْلَى بِهِ

Sesungguhnya tidak berkembang daging yang tumbuh dari makanan yang haram kecuali Neraka yang lebih pantas baginya. (Bagian dari hadits yang dikeluarkan oleh at-Tirmidzi dalam sunannya  kitab Al Sholat bab Fadhlu Sholat no. 614 dari Ka’ab bin ‘Ujrah pada sebahagian dari hadits panjang,. Abu ‘Isa at-Tirmidzi berkata, ”Hadits ini hasan Gharîb. Dan dishahîhkan oleh Ahmad Muhammad Syâkir dalam komentar beliau terhadap sunan at- Tirmidzi  2/515 dan al-Albâni dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi no. 501.)

  1. Usaha yang haram mengakibatkan kemurkaan Allah serta memasukkan pelakunya ke dalam neraka. Hal ini dijelaskan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Umâmah al-Hâritsi bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنِ اقْتَطَعَ حَقَّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِيَمِينِهِ فَقَدْ أَوْجَبَ اللَّهُ لَهُ النَّارَ وَحَرَّمَ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ . فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ وَإِنْ كَانَ شَيْئًا يَسِيرًا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « وَإِنْ قَضِيبًا مِنْ أَرَاكٍ ».

Siapa yang mengambil hak seorang muslim dengan sumpahnya, maka Allah masukkan ke dalam neraka dan mengharamkannya surga. Seorang bertanya kepada beliau: “Walaupun hanya sesuatu yang remeh wahai Rasulullah? Beliau menjawab: “Walaupun hanya sepotong kayu siwak”. (HR Muslim no 370)

Juga dalam sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّ رِجَالاً يَتَخَوَّضُوْنَ فِي مَالِ اللَّهِ بِغَيْرِ حَقٍّ فَلَهُمْ النَّارُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Sesungguhnya banyak orang beraktifitas pada harta Allah dengan tidak benar maka mereka berhak mendapatkan neraka di hari kiamat (HR al-Bukhâri no 2886)

Inipun dipertegas dengan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ جَسَدٌ غُذِيَ بِالْحَرَامِ 

Tidak akan masuk surga tubuh yang diberi makan dengan yang haram. (HR al-Baihaqi dalam Syu’abil Iman dan dishahîhkan al-Albâni dalam Silsilah Ahadits ash-Shahîhah no. 2609)

  1. Usaha yang haram dapat mengakibatkan tidak diterimanya doa dan amal shalih pelakunya, karena makanan dan minuman yang didapatkan dari usaha haram adalah haram dan makanan haram dapat mengakibatkan doa dan amal shalihnya tidak diterima, sebagaimana dijelaskan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوْا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيْمٌ وَقَالَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ

“Sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik, dan Allah memerintahkan kepada orang-orang Mukmin dengan apa yang diperintahkannya kepada para rasul dalam firman-Nya, ”Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shaleh. Sesungguhnya Aku Mahamengetahui apa yang kamu kerjakan”. (al-Mukminûn 23:51). Dan Ia berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu”, (al-Baqarah 2:172). Kemudian beliau menyebutkan seorang laki-laki yang kusut lagi berdebu, ia mengulurkan kedua tangannya ke arah langit sambil berdo’a: Ya Rabb, Ya Rabb, sedang makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, ia kenyang dengan makanan yang haram. Maka bagaimana mungkin orang tersebut dikabulkan permohonannya?!”. (HR Muslim dalam Az-Zakâh no.1015 dan at-Tirmidzi dalam Tafsîrul Qur`ân no.2989)

Ibnu Rajab berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa amalan tidak diterima dan tidak suci kecuali dengan makan makanan yang halal. Sedangkan makan makanan yang haram dapat merusak amal perbuatan dan membuatnya tidak diterima”. (Jâmi’ul’Ulûm wal Hikam 1/260 dinukil dari Ba’i’at- Taqsîth Ahkâmuhu wa Adâbuhu, Hisyam bin  Muhammad bin Sa’îd Alu Barghasy, cetakan pertama tahun 1419H, Dârul Wathan, KSA hal 10.)

Demikian juga Prof. DR. `Abdurrazâq bin `Abdulmuhsin al ‘Abbâd hafizhahullâh menjelaskan hadits ini dengan menyatakan: “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memulai hadits ini dengan isyarat akan bahayanya makan barang haram dan hal itu termasuk pencegah dikabulkannya do’a. Dipahami darinya bahwa memperbagus makanan (memakan makanan halal) menjadi salah satu sebab dikabulkannya do’a, sebagaimana dikatakan Wahb bin Munabbih: ‘Siapa yang ingin dikabulkan doanya oleh Allah, hendaklah memperbagus makanannya. Ketika Sa’ad bin Abi Waqqâsh radhiyallaahu ‘anhu ditanya tentang sebab dikabulkannya do’a para sahabat Rasulullah; beliau berkata, “Aku tidak mengangkat sesuap makanan pun ke mulutku kecuali aku mengetahui dari mana datangnya dan dari mana ia keluar”. (Fiqh al- Ad’iyah Wal Adzkâr, (bagian kedua), Prof.DR. `Abdurrazâq bin `Abdilmuhsin al ‘Abbâd, cetakan pertama tahun 1422 H, Dâr Ibnu Affân dan Dâr Ibnul Qayyim, KSA, hal 34.).

Jika kita heran dan bertanya-tanya, mengapa bencana menimpa kita, kemakmuran sulit dicapai, ketenangan hidup dan kemenangan tak juga diraih? Mengapa do’a-do’a kita tidak terkabulkan? Kemungkinan jawabannya adalah kelalaian kita dalam memenuhi kebutuhan primer dan sekunder yang baik dan ketidakpedulian kita tentang masalah halal dan haram. Hal ini telah disinyalir oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas dan juga para ulama, di antaranya:

Yusuf bin Asbâth yang berkata, ”Telah sampai kepada kami bahwa do’a seorang hamba ditahan naik ke langit lantaran buruknya makanan (makanannya tidak halal)”. (Jâmi’ul ‘Ulûm wa al-Hikam 1/275. dinukil dari Bai’ at-Taqsîth, hlm 11)

Wajar saja bila Khalifah ‘Umar bin al-Khaththâb radhiyallaahu ‘anhu (walaupun masih banyak sahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang masih hidup saat itu) memukul orang dengan dirrah, lalu berkata, ”Janganlah berdagang di pasar kami kecuali orang faqîh, (mengerti tentang jual beli), jika tidak maka dia makan riba”. (Dinukil dari kitab Bai’ at-Taqsîth,  hlm 11)

Demikian juga Khalifah Ali bin Abi Thâlib radhiyallaahu ‘anhu pernah berkata, ”Siapa yang berdagang sebelum mengerti fiqih, maka ia akan tercebur ke dalam riba, kemudian tercebur lagi dan kemudian akan tercebur lagi” artinya terjerumus ke dalamnya dan kebingungan. (Dinukil dari kitab Bai’ at-Taqsîth,  hlm 11)

Ini di zaman Umar radhiyallaahu ‘anhu dan Ali radhiyallaahu ‘anhu yang masih banyak para Ulama. Bagaimana di zaman kita sekarang yang sudah beraneka ragam corak dan bentuk perdagangan dan sedikitnya para Ulama ?!!!

Tidak diragukan lagi bahwa makanan dan usaha yang halal menuntut setiap manusia agar sadar dan mengetahui dengan baik setiap muamalah yang dilakukannya, mana yang haram dan mana yang halal serta yang syubhat (tidak jelas).

Apabila telah memiliki harta yang haram, lalu bagaimana beraktifitas dengan harta haram setelah bertaubat darinya?

Beraktifitas dengan harta haram dibolehkan pada dua keadaan:


Pertama: Mengeluarkannya di kegiatan sosial yang baik. 

Hal ini terjadi pada keadaan tidak bisa dibedakan antara yang halal dengan yang haram dari harta tersebut dengan dua syarat:

a. Harta itu tidak bisa dikembalikan kepada pemiliknya. 

b.Tidak didapatkan dari barang yang haram. 

Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dengan sanadnya dari Kulaib dari bapaknya dari seorang lelaki Anshar yang berkata:

خرجنا مع رسول الله – صلى الله عليه وسلم  – في جنازة فرأيت رسول الله – صلى الله عليه وسلم  – وهو على القبر يوصي الحافر: أوسع من قبل رجليه، أوسع من قبل رأسه. فلما رجع استقبله داعي امرأة، فجاء وجيء بطعام، فوضع يده، ثم وضع القوم فأكلوا، فنظر آباؤنا رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يلوك لقمة في فمه، ثم قال: أجد لحم شاة أخذت بغير إذن أهلها. فأرسلت المرأة فقالت: يا رسول الله إني أرسلت إلى البقيع يشتري لي شاة، فلم أجد، فأرسلت إلى جار لي قد اشترى شاة أن أرسل إليَّ بها بثمنها، فلم يوجد، فأرسلت إلى امرأته، فأرسلت إليَّ بها. فقال: أطعميه الأسارى
  

Kami berangkat bersama Rasulullah pada satu jenazah. Lalu aku melihat Rasulullah dalam keadaan di kuburan memerintahkan penggali kuburan: “Perluas dari sebelah kedua kakinya!. Perluas dari sisi kepalanya!”. Ketika kembali, kemudian disambut utusan seorang wanita. Lalu beliau datang dan dihidangkan makanan, lalu beliau meletakkan tangannya, kemudian orang-orang meletakkan tangannya dan memakannya. Lalu orang-orang tua kami melihat Rasulullah mencicipi suapan ke mulutnya dan berkata: Aku dapati daging kambingnya diambil tanpa izin pemiliknya. Lalu datanglah sang wanita dan berkata: Wahai Rasulullah sungguh aku mengutus orang ke Baqi` untuk membelikan untukku seekor kambing, lalu ia tidak mendapatkannya. Lalu aku mengutusnya ke tetanggaku yang telah membeli kambing agar memberikan kambing tersebut dengan nilai pembayarannya. Lalu tidak mendapatkannya lalu aku mengutusnya menemui istrinya dan ia pun menyerahkannya kepadaku. Lalu beliau berkata: Beri makanan ini buat makan para tawanan perang. (HR ibnu Mandah dalam kitab al-Ma’rifah dan dishahihkan al-Albani dalam silsilah Ash-Shahihah 2/393 no. 754 dan Irwa’ 3/196)

Dalam hadits ini Rasulullah memerintahkan bersedekah dengan kambing matang yang dihidangkan kepada beliau dan para sahabatnya, karena mengetahui kambing tersebut diambil tanpa izin pemiliknya. Imam Ali al-Qoori menyatakan: Nampaknya jual belinya tidak sah; karena izin dan keridhaan tetangganya tidak sah (Mirqaah al-Mafaatih 10/297).

Yang perlu diperhatikan bahwa mengeluarkan harta haram dan berlepas darinya serta menyerahkannya kepada fakir miskin dinamakan sedekah dalam tinjauan kepada orang fakir bukan kepada yang memberi. Hal itu karena orang yang bertaubat dari harta haram ketika mengeluarkan hartanya kepada fakir miskin adalah agar taubatnya diterima bukan karena mencari pahala dan balasan.

Pengeluaran ini termasuk pelengkap taubat dan syaratnya, sehingga tidak ada pahala bagi orang yang berbuat demikian. Di antara ulama yang berfatwa demikian adalah imam az-Zuhri, al-Qurthubi, ibnu taimiyah, syeikh Sa’ud bin Abdillah al-Fanisaan dan Syeikh Abdullah bin Manie’.

Kedua: pemilik yang sah dari harta haram tersebut diketahui.

Wajib di sini mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya. Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang seorang yang bercampur hartanya yang halal dengan yang haram? Beliau menjawab: Dikeluarkan jumlah yang haram dengan timbangan dan menyerahkannya kepada pemilik sahnya dan jumlah yang halal jadi miliknya. Apabila ia tidak mengetahuinya dan tidak bisa diketahui maka bersedekah dengannya.

Kesimpulan dari masalah ini disampaikan Imam Ibnul Qayyim ketika ditanya masalah ini dengan jawaban: masalah ini disandarkan pada kaedah penting nan agung dalam Islam yaitu semua orang yang memiliki sesuatu yang bukan miliknya secara syar’i, kemudian ingin berlepas darinya; Apabila yang ada padanya tersebut diambil tanpa keridhaan pemiliknya dan tidak bisa ditunaikan kompensasinya maka dikembalikan.

Apabila tidak bisa dikembalikan maka digunakan untuk menutupi hutang pemiliknya yang sah yang diketahuinya. Bila tidak bisa juga maka dikembalikan kepada ahli warisnya. Kalau tidak bisa juga maka bersedekah atas namanya. Apabila pemilik yang sah memilih pahalanya di hari kiamat maka itu boleh. Apabila pemilik yang sah tidak mau menerima kecuali mengambil sebagian kebaikan dari yang mengambil harta tersebut maka diberikan kompensasinya sesuai dengan hartanya tersebut. Lalu pahala sedekah untuk yang bersedekah, sebagaimana sudah ada dari para Sahabat (Zaad al-Ma’ad 5/690).

Wallahu a’lam.


Artikel asli: https://pengusahamuslim.com/7629-implikasi-buruk-usaha-haram-dan-beraktifitas-pada-harta-haram.html